'Efek Trump' di Timur Tengah
Senin, 30 Januari 2017
Presiden Amerika Donald Trump saat mendengarkan Alquran/youtube |
Muhammad Ja’far
Ketua Pusat Studi Hubungan Indonesia-Timur Tengah
Salah satu tugas berat yang menanti Presiden Amerika Serikat Donald Trump adalah meracik kebijakan politik luar negeri AS di Timur Tengah. Tampaknya, Trump akan banyak mengubah arah kebijakan yang telah dirintis presiden sebelumnya, Barack Obama. Indikasinya terlihat dari tiga hal: janji kampanye Trump, pernyataan politiknya, dan figur calon menteri luar negeri pilihannya, Rex Tillerson. Perubahan apa yang akan dan bisa dilakukan Trump di Timur Tengah?
Pertimbangan utama Trump dalam menentukan arah kebijakannya di sana mungkin adalah pragmatisme ekonomi-politik. Ini pengaruh latar belakangnya sebagai pengusaha dan paradigma politiknya yang ultrakonservatif (Republik). Trump akan banyak mengukur sekaligus "membarter" orientasi politik dengan kepentingan penguatan sosio-ekonomi AS.
Di Timur Tengah, Trump nanti akan banyak berhadapan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Dalam beberapa tahun terakhir, Rusia menjadi entitas politik baru dengan kekuatan dan pengaruh yang meningkat drastis di kawasan tersebut, terutama setelah kiprah politiknya di Suriah. Sejauh ini, Trump menunjukkan indikasi "berjodoh" dengan Putin. Calon menteri luar negeri, Tillerson, bersahabat dengan Putin. Meski indikasi ini tidak bisa "dipegang" karena bisa saja berbelok arah, Trump sepertinya tidak ingin energi ekonomi-politik AS habis untuk meladeni rivalitas dengan Rusia plus aliansinya di Timur Tengah. Apalagi anggota aliansi AS di kawasan tersebut, negara Teluk dan Eropa, telah mengalami kemerosotan ekonomi dan politik yang serius dalam beberapa tahun terakhir ini, terutama setelah Turki pindah haluan ke Rusia.
Bagi presiden berlatar pebisnis seperti Trump, jika tidak berkonfrontasi dengan Putin lebih menguntungkan bagi perekonomian AS, ini pilihan yang realistis. Ikatan kerja sama juga tidak tertutup kemungkinan dirajut. Di sini, Tillerson akan menjalankan perannya merumuskan arah baru hubungan politik-pragmatis AS-Rusia di Timur Tengah. Ini termasuk bersinergi dalam mengatasi masalah teror kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) secara tuntas ke akar-akarnya. Trump tentu tak ingin ISIS mengacaukan target-target ekonominya.
Selain hubungan bilateralnya dengan Rusia, dua hal lain yang menjadi sentra kebijakan politik Trump di Timur Tengah adalah relasi politiknya dengan Israel dan Iran. Sejauh ini, Trump menunjukkan dukungan penuh kepada Israel. Namun, jika berlebihan, ini bisa memicu sentimen politik negatif global terhadap Washington, yang ujung-ujungnya berdampak negatif terhadap perekonomian negara itu-sesuatu yang jelas tidak diinginkan Trump. Besar kemungkinan Trump akan merintis peta jalan menuju solusi dua negara. Ini solusi yang paling realistis bagi penganut pragmatisme politik seperti Trump. Tinggal bagaimana ia meyakinkan Tel Aviv untuk menerima tawaran ini. Di sisi lain, Trump bisa meminta Rusia dan aliansinya menjadi mediator dengan pihak Palestina.
Bagaimana dengan masa depan hubungan Washington-Teheran? Sejauh ini, Trump memang menunjukkan sikap keras terhadap Iran. Ia sempat menggertak untuk mendelegitimasi kesepakatan nuklir Iran yang telah dicapai Obama tahun lalu. Tapi, berdasarkan kalkulasi pragmatisme politik, pembatalan perjanjian nuklir akan sangat kontraproduktif dengan visi ekonomi Trump. Pintu prospek kerja sama ekonomi-bisnis tiga kawasan, AS-Eropa-Timur Tengah, akan tertutup kembali. Belum lagi dampak politiknya: Rusia, mitra strategis Iran, tentu akan bereaksi jika aliansinya ini ditekan secara politik. Mempertimbangkan faktor-faktor ini, tampaknya Trump tidak akan mengotak-atik perjanjian nuklir Iran. Hubungan kedua negara bisa maju, tapi pada level sangat minimal dan bersifat tidak langsung (efek dari kedekatan Rusia-Iran).
Satu pekerjaan rumah terakhir Trump di Timur Tengah adalah masa depan hubungan AS-Arab Saudi. Melihat kondisi ekonomi dan pengaruh politik Saudi yang menurun drastis di kawasan Timur Tengah, tampaknya Trump akan melihat prospek kerja sama kedua negara tidak secerah era-era sebelumnya. Pertimbangan lainnya, ambisi politik kawasan Saudi selama ini telah membebani AS melalui serangkaian perang di Suriah dan Yaman, yang kemudian menimbulkan "ISIS Effect". Dari Suriah dan Irak, kini mereka sedang bergerak menuju Eropa dan AS. Tiga hal ini tampaknya akan membuat Trump memutuskan untuk sedikit merenggangkan kemesraan hubungan politik-ekonomi negaranya dengan Saudi. Ini pilihan realistis bagi Trump, di samping juga paralel dengan peralihan fokus Trump ke kawasan Asia-Pasifik.
Pergantian Presiden AS selalu menjadi faktor perubahan cuaca politik di Timur Tengah, bagaimana formulasi kebijakan yang ditempuh presiden baru menentukan perubahan kontur wajah politik kawasan tersebut. Dalam empat tahun ke depan, kebijakan Trump akan memoles wajah politik Timur Tengah.
Ketua Pusat Studi Hubungan Indonesia-Timur Tengah
Salah satu tugas berat yang menanti Presiden Amerika Serikat Donald Trump adalah meracik kebijakan politik luar negeri AS di Timur Tengah. Tampaknya, Trump akan banyak mengubah arah kebijakan yang telah dirintis presiden sebelumnya, Barack Obama. Indikasinya terlihat dari tiga hal: janji kampanye Trump, pernyataan politiknya, dan figur calon menteri luar negeri pilihannya, Rex Tillerson. Perubahan apa yang akan dan bisa dilakukan Trump di Timur Tengah?
Pertimbangan utama Trump dalam menentukan arah kebijakannya di sana mungkin adalah pragmatisme ekonomi-politik. Ini pengaruh latar belakangnya sebagai pengusaha dan paradigma politiknya yang ultrakonservatif (Republik). Trump akan banyak mengukur sekaligus "membarter" orientasi politik dengan kepentingan penguatan sosio-ekonomi AS.
Di Timur Tengah, Trump nanti akan banyak berhadapan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Dalam beberapa tahun terakhir, Rusia menjadi entitas politik baru dengan kekuatan dan pengaruh yang meningkat drastis di kawasan tersebut, terutama setelah kiprah politiknya di Suriah. Sejauh ini, Trump menunjukkan indikasi "berjodoh" dengan Putin. Calon menteri luar negeri, Tillerson, bersahabat dengan Putin. Meski indikasi ini tidak bisa "dipegang" karena bisa saja berbelok arah, Trump sepertinya tidak ingin energi ekonomi-politik AS habis untuk meladeni rivalitas dengan Rusia plus aliansinya di Timur Tengah. Apalagi anggota aliansi AS di kawasan tersebut, negara Teluk dan Eropa, telah mengalami kemerosotan ekonomi dan politik yang serius dalam beberapa tahun terakhir ini, terutama setelah Turki pindah haluan ke Rusia.
Bagi presiden berlatar pebisnis seperti Trump, jika tidak berkonfrontasi dengan Putin lebih menguntungkan bagi perekonomian AS, ini pilihan yang realistis. Ikatan kerja sama juga tidak tertutup kemungkinan dirajut. Di sini, Tillerson akan menjalankan perannya merumuskan arah baru hubungan politik-pragmatis AS-Rusia di Timur Tengah. Ini termasuk bersinergi dalam mengatasi masalah teror kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) secara tuntas ke akar-akarnya. Trump tentu tak ingin ISIS mengacaukan target-target ekonominya.
Selain hubungan bilateralnya dengan Rusia, dua hal lain yang menjadi sentra kebijakan politik Trump di Timur Tengah adalah relasi politiknya dengan Israel dan Iran. Sejauh ini, Trump menunjukkan dukungan penuh kepada Israel. Namun, jika berlebihan, ini bisa memicu sentimen politik negatif global terhadap Washington, yang ujung-ujungnya berdampak negatif terhadap perekonomian negara itu-sesuatu yang jelas tidak diinginkan Trump. Besar kemungkinan Trump akan merintis peta jalan menuju solusi dua negara. Ini solusi yang paling realistis bagi penganut pragmatisme politik seperti Trump. Tinggal bagaimana ia meyakinkan Tel Aviv untuk menerima tawaran ini. Di sisi lain, Trump bisa meminta Rusia dan aliansinya menjadi mediator dengan pihak Palestina.
Bagaimana dengan masa depan hubungan Washington-Teheran? Sejauh ini, Trump memang menunjukkan sikap keras terhadap Iran. Ia sempat menggertak untuk mendelegitimasi kesepakatan nuklir Iran yang telah dicapai Obama tahun lalu. Tapi, berdasarkan kalkulasi pragmatisme politik, pembatalan perjanjian nuklir akan sangat kontraproduktif dengan visi ekonomi Trump. Pintu prospek kerja sama ekonomi-bisnis tiga kawasan, AS-Eropa-Timur Tengah, akan tertutup kembali. Belum lagi dampak politiknya: Rusia, mitra strategis Iran, tentu akan bereaksi jika aliansinya ini ditekan secara politik. Mempertimbangkan faktor-faktor ini, tampaknya Trump tidak akan mengotak-atik perjanjian nuklir Iran. Hubungan kedua negara bisa maju, tapi pada level sangat minimal dan bersifat tidak langsung (efek dari kedekatan Rusia-Iran).
Satu pekerjaan rumah terakhir Trump di Timur Tengah adalah masa depan hubungan AS-Arab Saudi. Melihat kondisi ekonomi dan pengaruh politik Saudi yang menurun drastis di kawasan Timur Tengah, tampaknya Trump akan melihat prospek kerja sama kedua negara tidak secerah era-era sebelumnya. Pertimbangan lainnya, ambisi politik kawasan Saudi selama ini telah membebani AS melalui serangkaian perang di Suriah dan Yaman, yang kemudian menimbulkan "ISIS Effect". Dari Suriah dan Irak, kini mereka sedang bergerak menuju Eropa dan AS. Tiga hal ini tampaknya akan membuat Trump memutuskan untuk sedikit merenggangkan kemesraan hubungan politik-ekonomi negaranya dengan Saudi. Ini pilihan realistis bagi Trump, di samping juga paralel dengan peralihan fokus Trump ke kawasan Asia-Pasifik.
Pergantian Presiden AS selalu menjadi faktor perubahan cuaca politik di Timur Tengah, bagaimana formulasi kebijakan yang ditempuh presiden baru menentukan perubahan kontur wajah politik kawasan tersebut. Dalam empat tahun ke depan, kebijakan Trump akan memoles wajah politik Timur Tengah.