5 Kisah Miris Warga dari Negara Muslim yang Ditolak Masuk AS
Kamis, 02 Februari 2017
5 Kisah Miris Warga dari Negara Muslim yang Ditolak Masuk AS - New York - Pada Jumat 27 Januari 2017 pekan lalu, Donald Trump
mengeluarkan perintah eksekutif terkait pelarangan imigran dan
pengungsi dari tujuh negara muslim. Warga negara Irak, Iran, Somalia,
Sudan, Libya, Suriah dan Yaman, untuk sementara, dilarang masuk Amerika
Serikat.
Kebijakan Trump, Bandara AS Tahan Pemegang Green Card dan Imigran ((DAVID WEXLER FOR NEW YORK DAILY NEWS) |
Beberapa jam setelah perintah eksekutif diteken, seluruh bandara internasional seantero AS menerapkan aturan itu.
Departemen Keamanan Dalam Negeri mengeluarkan perintah kepada Customs and Border Protection untuk menerapkan kebijakan Presiden Trump mulai Sabtu 28 Januari 2017.
Penumpang warga negara yang dilarang, termasuk permanent resident,
yang memiliki kartu Green Card, dan pemegang visa AS tak bisa masuk ke
Negeri Paman Sam setelah kebijakan diteken dan dinyatakan efektif
berlangsung.
Pada Sabtu 28 Januari pagi, 12 orang dari tujuh negara yang dilarang
dibawa ke tahanan imigrasi setelah mendarat di JFK. Beberapa penahanan
juga terjadi di bandara lainnya.
Akibat dari perintah itu, ribuan orang turun berunjuk rasa meminta
para warga terdampak yang ditahan di bandara diperbolehkan masuk ke AS.
Tak hanya di New York, kota-kota besar lainnya seperti Los Angeles,
Chicago dan Florida menggelar protes yang sama.
Hakim distrik Ann Donelly dari New York turun tangan. Hakim Donelly
mengeluarkan perintah darurat setelah sejumlah pengacara dari American
Civil Liberties Union (ACLU) mengeluarkan petisi di pengadilan mewakili
warga dari tujuh negara muslim yang ditahan di beberapa bandara di AS.
Beberapa orang akhirnya berhasil keluar dari tahanan imigrasi di
bandara-bandara kedatangan. Meski demikian ada yang masih ditahan bahkan
dikembalikan ke negara asal dia terbang atau tertahan di negara transit
hanya karena mereka warga negara Irak, Iran, Somalia, Sudan, Libya,
Suriah, dan Yaman.
Mengutip dari The Guardian pada Rabu (1/2/2017), berikut kisah miris 5 warga dari tujuh negara muslim yang dilarang masuk AS:
1. Hameed Darweesh, Penerjemah Tentara AS
Hameed
Darweesh memiliki visa imigran khusus yang memungkinkan dia masuk AS.
Hak itu diberikan secara istimewa karena dedikasinya pada pemerintah AS
di Irak, demikian menurut American Civil Liberties Union (ACLU).
Darweesh, seorang suami dan ayah tiga anak, mempertaruhkan hidupnya
untuk membantu militer AS di Irak. Dua kali nyawanya terancam sehingga
harus memindahkan keluarganya berkali-kali.
Keseluruhan keluarganya diberikan visa khusus itu dan tiba bersama di New York pada hari Sabtu.
Setelah beberapa penundaan, keluarga Darweesh ini diizinkan masuk, tapi dia tidak.
Darweesh telah bekerja untuk jangka waktu 10 tahun sebagai penerjemah, insinyur listrik, dan kontraktor bagi AS di Irak.
"Dia dikontrak oleh pemerintah AS untuk bekerja di berbagai posisi yang menempatkannya pada risiko besar -- menjadi sasaran, diserang dan dibunuh oleh milisi dan pemberontak anti-Amerika," demikian menurut permohonan ACLU.
Kongres menciptakan program visa khusus pada tahun 2007 dan 2008 untuk memberikan perlindungan untuk warga Irak dan Afghanistan "yang menghadapi ancaman serius karena bekerja dengan setia dan berharga untuk AS".
Darweesh akhirnya dibebaskan dari bandara pada Sabtu sore dan muncul untuk berbicara dengan wartawan. Para pengunjuk rasa bersorak menyaksikan kebebasannya.
"Amerika itu dasarnya adalah kemanusiaan. Inilah jiwa AS sesungguhnya. Itulah mengapa aku meninggalkan negaraku dan pindah ke AS," kata Darweesh sesaat setelah dibebaskan.
Keseluruhan keluarganya diberikan visa khusus itu dan tiba bersama di New York pada hari Sabtu.
Setelah beberapa penundaan, keluarga Darweesh ini diizinkan masuk, tapi dia tidak.
Darweesh telah bekerja untuk jangka waktu 10 tahun sebagai penerjemah, insinyur listrik, dan kontraktor bagi AS di Irak.
"Dia dikontrak oleh pemerintah AS untuk bekerja di berbagai posisi yang menempatkannya pada risiko besar -- menjadi sasaran, diserang dan dibunuh oleh milisi dan pemberontak anti-Amerika," demikian menurut permohonan ACLU.
Kongres menciptakan program visa khusus pada tahun 2007 dan 2008 untuk memberikan perlindungan untuk warga Irak dan Afghanistan "yang menghadapi ancaman serius karena bekerja dengan setia dan berharga untuk AS".
Darweesh akhirnya dibebaskan dari bandara pada Sabtu sore dan muncul untuk berbicara dengan wartawan. Para pengunjuk rasa bersorak menyaksikan kebebasannya.
"Amerika itu dasarnya adalah kemanusiaan. Inilah jiwa AS sesungguhnya. Itulah mengapa aku meninggalkan negaraku dan pindah ke AS," kata Darweesh sesaat setelah dibebaskan.
2. Haider Sameer, Akuntan
Haider Alshawi Abdulkhaleq Alshawi adalah warga negara Irak lainnya yang ditahan di bandara JFK New York.
Ia adalah seorang akuntan yang datang ke AS untuk begabung dengan istrinya Duniyya serta anak mereka yang berusia 7 tahun. Anak istrinya itu telah menjadi permanen resident setelah mereka diberikan status pengungsi oleh AS.
Sang istri, Duniyya bekerja sebagai kontraktor militer AS di Irak. Semenjak itu, hidupnya dalam bahaya.
Pada tahun 2010, saudara Duniyya ini diculik oleh pemberontak Irak dan adik ipar terluka parah dalam sebuah bom mobil yang menewaskan suaminya.
Sebelum perintah eksekutif presiden Jumat lalu, Alshawi telah diperiksa dan diberikan visa untuk bergabung istrinya. Setibanya di New York pada Jumat malam, ia ditahan oleh agen perbatasan di pesawat, kemudian di bandara.
Pengacara tidak dapat berbicara dengannya di bandara tetapi mereka mengajukan gugatan menuntut pembebasannya dan memperingatkan bahwa ia berisiko kembali ke Irak karena bahaya yang dia hadapi di sana.
Alshawi muncul dari bandara JFK sekitar 19.15 pada hari Sabtu. Dia ditahan semalam di hotel oleh kelompok-kelompok hak imigrasi dan kemudian terbang dari bandara La Guardia di Houston pada hari Minggu pagi, di mana ia bergabung istri dan anaknya.
"Mereka sangat senang bisa bertemu kembali," kata Becca Heller dari International Refugee Assistance Project.
Louhghalam juga memiliki gelar master dalam rekayasa gempa dari Universitas Teheran, sementara suaminya memiliki master di bidang teknik sipil dari institusi yang sama. Keduanya warga negara Iran, dengan izin tinggal permanen di Amerika Serikat.
Pasangan akademik mengalami 'gempa politik' pada Sabtu malam ketika mereka kembali dari sebuah konferensi di Prancis dan dihentikan ketika masuk Amerika Serikat setelah penerbangan mereka tiba di Bandara Logan, Boston.
Sebagai hasil dari perintah Trump, pasangan itu akhirnya ditahan dan diinterogasi secara ekstensif di bandara selama empat jam. Pengacara imigrasi pergi ke pengadilan atas nama mereka dan akhirnya keduanya dibebaskan.
Pasangan ini sekarang penggugat kebijakan Trump lewat pengacara imigrasi dari sebuah perusahaan di Cambridge, Massachusetts, dan dari ACLU.
Tidak terpengaruh, kedua insinyur kembali bekerja di Dartmouth pada hari Senin. Mencapai di kantornya, Louhghalam mengatakan kepada Guardian dia merasa baik-baik saja, meskipun ia mengatakan pengalaman di bandara telah membuatnya stres. Lalu ia dengan sopan minta diri, mengatakan dia sudah satu menit terlambat untuk mengajar.
Keduanya memiliki dokumen imigrasi yang sah, siap untuk terbang ke Flint, Michigan, untuk bertemu kembali dengan ayah mereka, seorang warga negara AS.
Tareq, 21, dan Ammar, 19, warga Yaman, diborgol di bandara AS setelah penerbangan panjang dan dua jam kemudian mereka dinaikan pesawat lain menuju ke Ethiopia, tempat dari mana mereka datang.
Kedua saudara itu harus pergi ke negara Afrika timur kecil di Djiboutia agar bisa mendapatkan surat-surat domisili mereka di AS.
Setelah itu mereka mereka naik sebuah pesawat Ethiopian Airlines ke AS pada hari Jumat, lepas landas tak lama sebelum Trump menandatangani perintah eksekutifnya melarang warga Yaman memasuki AS.
Salah satu pengacara mereka di AS, Paul Hughes, mengatakan bahwa ketika mereka mendarat di Dulles pada hari Sabtu, pihak imigrasi mengembalikan mereka ke penerbangan Ethiopian Airlines, yang kebetulan menuju ke Addis Ababa.
Pada hari Senin, kedua pemuda itu masih di bandara di Ethiopia dengan layanan ponsel yang sinyalnya buruk, mencoba untuk berkomunikasi dengan pengacara di AS untuk mengetahui apakah mereka bisa mencapai Amerika.
"Mereka tidur di kursi di bandara, dengan ransel mereka, terlihat kebingungan," kata Hughes.
Hughes mengatakan kedua orang itu bisa berbicara bahasa Inggris tapi tidak diberi akses ke penasihat hukum di Dulles dan "dipaksa menandatangani sebuah formulir" yang melepaskan status imigrasi mereka.
Hughes dan pengacara lain telah mengajukan class action atas nama dua saudara itu.
Para pengacara yakin, ada sekitar 60 warga dari tujuh negara muslim itu dikembalikan ke negara asal mereka.
Sumber: liputan6.com
Ia adalah seorang akuntan yang datang ke AS untuk begabung dengan istrinya Duniyya serta anak mereka yang berusia 7 tahun. Anak istrinya itu telah menjadi permanen resident setelah mereka diberikan status pengungsi oleh AS.
Sang istri, Duniyya bekerja sebagai kontraktor militer AS di Irak. Semenjak itu, hidupnya dalam bahaya.
Pada tahun 2010, saudara Duniyya ini diculik oleh pemberontak Irak dan adik ipar terluka parah dalam sebuah bom mobil yang menewaskan suaminya.
Sebelum perintah eksekutif presiden Jumat lalu, Alshawi telah diperiksa dan diberikan visa untuk bergabung istrinya. Setibanya di New York pada Jumat malam, ia ditahan oleh agen perbatasan di pesawat, kemudian di bandara.
Pengacara tidak dapat berbicara dengannya di bandara tetapi mereka mengajukan gugatan menuntut pembebasannya dan memperingatkan bahwa ia berisiko kembali ke Irak karena bahaya yang dia hadapi di sana.
Alshawi muncul dari bandara JFK sekitar 19.15 pada hari Sabtu. Dia ditahan semalam di hotel oleh kelompok-kelompok hak imigrasi dan kemudian terbang dari bandara La Guardia di Houston pada hari Minggu pagi, di mana ia bergabung istri dan anaknya.
"Mereka sangat senang bisa bertemu kembali," kata Becca Heller dari International Refugee Assistance Project.
3. Pasangan Ahli Nuklir
Mazdak Tootkaboni dan istrinya, Arghavan Louhghalam, adalah associate professor teknik di University of Massachusetts Dartmouth. Mereka berdua menerima PhD dari Johns Hopkins University di Maryland.Louhghalam juga memiliki gelar master dalam rekayasa gempa dari Universitas Teheran, sementara suaminya memiliki master di bidang teknik sipil dari institusi yang sama. Keduanya warga negara Iran, dengan izin tinggal permanen di Amerika Serikat.
Mazdak Tootkaboni, associate professor teknik di University of Massachusetts Dartmouth disambut keluarga dan pengunjuk rasa setelah bebas dari tahanan imigrasi bandara boston (AFP/SCOTT EISEN) |
Pasangan akademik mengalami 'gempa politik' pada Sabtu malam ketika mereka kembali dari sebuah konferensi di Prancis dan dihentikan ketika masuk Amerika Serikat setelah penerbangan mereka tiba di Bandara Logan, Boston.
Sebagai hasil dari perintah Trump, pasangan itu akhirnya ditahan dan diinterogasi secara ekstensif di bandara selama empat jam. Pengacara imigrasi pergi ke pengadilan atas nama mereka dan akhirnya keduanya dibebaskan.
Pasangan ini sekarang penggugat kebijakan Trump lewat pengacara imigrasi dari sebuah perusahaan di Cambridge, Massachusetts, dan dari ACLU.
Tidak terpengaruh, kedua insinyur kembali bekerja di Dartmouth pada hari Senin. Mencapai di kantornya, Louhghalam mengatakan kepada Guardian dia merasa baik-baik saja, meskipun ia mengatakan pengalaman di bandara telah membuatnya stres. Lalu ia dengan sopan minta diri, mengatakan dia sudah satu menit terlambat untuk mengajar.
4. Diterbangkan ke Ethiopia
Tareq dan Ammar Aziz ditemukan tengah tidur di bandara Addis Ababa, Ethiopia, setelah mereka tiba dari Bandara Dulles di Washington DC.Keduanya memiliki dokumen imigrasi yang sah, siap untuk terbang ke Flint, Michigan, untuk bertemu kembali dengan ayah mereka, seorang warga negara AS.
Tareq, 21, dan Ammar, 19, warga Yaman, diborgol di bandara AS setelah penerbangan panjang dan dua jam kemudian mereka dinaikan pesawat lain menuju ke Ethiopia, tempat dari mana mereka datang.
Kedua saudara itu harus pergi ke negara Afrika timur kecil di Djiboutia agar bisa mendapatkan surat-surat domisili mereka di AS.
Setelah itu mereka mereka naik sebuah pesawat Ethiopian Airlines ke AS pada hari Jumat, lepas landas tak lama sebelum Trump menandatangani perintah eksekutifnya melarang warga Yaman memasuki AS.
Salah satu pengacara mereka di AS, Paul Hughes, mengatakan bahwa ketika mereka mendarat di Dulles pada hari Sabtu, pihak imigrasi mengembalikan mereka ke penerbangan Ethiopian Airlines, yang kebetulan menuju ke Addis Ababa.
Pada hari Senin, kedua pemuda itu masih di bandara di Ethiopia dengan layanan ponsel yang sinyalnya buruk, mencoba untuk berkomunikasi dengan pengacara di AS untuk mengetahui apakah mereka bisa mencapai Amerika.
"Mereka tidur di kursi di bandara, dengan ransel mereka, terlihat kebingungan," kata Hughes.
Hughes mengatakan kedua orang itu bisa berbicara bahasa Inggris tapi tidak diberi akses ke penasihat hukum di Dulles dan "dipaksa menandatangani sebuah formulir" yang melepaskan status imigrasi mereka.
Hughes dan pengacara lain telah mengajukan class action atas nama dua saudara itu.
Para pengacara yakin, ada sekitar 60 warga dari tujuh negara muslim itu dikembalikan ke negara asal mereka.
5. Seorang Nenek Sakit Diusir dari Bandara
Khanon
Mahindokht Azad adalah seorang nenek berusia 78 tahun dari Iran yang
bepergian ke AS setiap beberapa tahun untuk mengunjunginya 10 anaknya.
Sembilan di antaranya adalah warga AS dan satu penduduk tetap.
Pada hari Sabtu, ia tiba di Los Angeles dengan visa turis, siap untuk mengunjungi anak-anaknya, tapi dia ditahan di bandara oleh petugas perbatasan.
Petugas perbatasan mencoba untuk menekan dia agar menandatangani dokumen menyetujui untuk menarik aplikasi visanya untuk masuk ke AS.
Azad sakit diabetes, tekanan darah tinggi dan masalah ginjal.
Pada satu titik, petugas perbatasan menelpon anaknya untuk memberitahu bahwa Aziz telah jatuh sakit di bandara dan mereka telah memanggil ambulans.
Azad menolak untuk menandatangani dokumen yang disodorkan kepadanya, tapi dia tidak diberi akses ke penasihat hukum -- yang berupaya menghubunginya.
Ponsel pribadinya lalu disita. Azad baru diizinkan masuk ke AS pada hari Minggu setelah 27 jam di tahan di bandara Los Angeles.
Pada hari Sabtu, ia tiba di Los Angeles dengan visa turis, siap untuk mengunjungi anak-anaknya, tapi dia ditahan di bandara oleh petugas perbatasan.
Petugas perbatasan mencoba untuk menekan dia agar menandatangani dokumen menyetujui untuk menarik aplikasi visanya untuk masuk ke AS.
Azad sakit diabetes, tekanan darah tinggi dan masalah ginjal.
Pada satu titik, petugas perbatasan menelpon anaknya untuk memberitahu bahwa Aziz telah jatuh sakit di bandara dan mereka telah memanggil ambulans.
Azad menolak untuk menandatangani dokumen yang disodorkan kepadanya, tapi dia tidak diberi akses ke penasihat hukum -- yang berupaya menghubunginya.
Ponsel pribadinya lalu disita. Azad baru diizinkan masuk ke AS pada hari Minggu setelah 27 jam di tahan di bandara Los Angeles.
Sumber: liputan6.com