Kota Salatiga Masih Dinilai Kota Paling Toleran di Indonesia, Inilah Alasannya
Sabtu, 18 November 2017
SALATIGA - Bersama empat daerah lainnya, Kota Salatiga kembali memperoleh penilaian sebagai Kota Paling Toleran di Indonesia pada 2017 ini. Adapun skor yang diperoleh adalah 5,90.
Jumlah skor hasil Indeks Kota Toleran Tahun 2017, serupa pun diraih Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara, Pematang Siantar Provinsi Sumatera Utara, Singkawang Provinsi Kalimantan Barat, dan Tual Provinsi Maluku.
Selain daerah-daerah itu, lima kota lainnya yang masuk dalam 10 besar kota toleran adalah Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara, Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara, Palu Provinsi Sulawesi Tengah, Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara dimana masing-masing berskor 5,80. Dan peringkat kesepuluh adalah Kota Surakarta berskor 5,72.
Beberapa hasil indeks tersebut dikeluarkan oleh Yayasan Setara Institute sebagai bagian dari peringatan Hari Toleransi Internasional pada 16 November 2017 lalu. Setara kemudian mengkaji dan indexing terhadap 94 kota di Indonesia dalam hal isu promosi serta praktik toleransi.
Saat dihubungi dan dikonfirmasi Tribunjateng.com, Jumat (17/11/2017), Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos membeberkan, yang menjadi objek studi adalah 94 dari 98 kota di seluruh Indonesia. Dan pemilihan kota didasarkan pada pertimbangan komposisi penduduk perkotaan yang semestinya lebih heterogen dibandingkan penduduk kabupaten.
"Kondisi heterogenitas serta kosmopolitanisme itu semestinya menunjukkan tingkat toleransi yang tinggi. 94 dipilih juga didasarkan pada kepentingan praktis demi memudahkan aktivitas penelitian, dibandingkan harus meneliti seluruh kabupaten/kota yang jumlahnya mencapai sekitar 514 daerah," terang Bonar.
Mengacu pada hal tersebut, ada empat parameter sebagai alat ukur pihaknya dalam penentuan serta perolehan indeks kota toleran yang pelaksanaan penelitiannya sejak November 2016 hingga Oktober 2017 atau periode setahun ini.
"Terkait regulasi pemerintah kota. Indikatornya adalah RPJMD dan kebijakan diskriminatif. Lalu tindakan pemerintah melalui pernyataan dan tindakan terkait peristiwa. Lalu ada regulasi sosial yang indikatornya peristiwa pelanggaran. Demografi agama melalui komposisi penduduk berdasarkan agama," paparnya.
Menurutnya, untuk memenuhi keempat parameter tersebut, tim peneliti kemudian mencari sumber data untuk mengukurnya. Yakni diperoleh dari dokumen resmi pemerintahan, badan pusat statistik (BPS), komnas perempuan, hingga pemberitaan di berbagai media massa.
"Untuk scoring, kami gunakan skala Likert yakni rentang nilai 1-7. Itu menggambarkan rentang gradatif dari kualitas buruk ke baik. Dalam pembobotan, kami pertimbangkan pula perbedaan tingkat pengaruh di tiap indikator pengukuran sesuai situasi faktual di kota penelitian," tambah Ketua Tim Peneliti Setara Institute Halili.
Dia menjabarkan, kombinasi pembobotan itu menghasilkan prosentase akhir pengukuran. Rincinya, RPJMD sebesar 10 persen, kebijakan diskriminatif 25 peren, pernyataan 12 persen, tindakan nyata 18 persen, peristiwa 25 persen, dan komposisi penduduk berdasarkan agama 10 persen.
Lalu mengapa jumlah skor yang dihasilkan lima daerah, satu di antara Kota Salatiga sama? Halili menyampaikan karena penilaian berdasarkan pembacaan dokumen sebagai data penelitian yang sudah ditentukan sebelumnya dan dinilai menggunakan skala Likert.
"Melalui skala itu, kesamaan skor akhir sangatlah dimungkinkan. Karena itu, di tahun ini kami tidak mengartikan kota mana yang berada di posisi pertama maupun posisi lainnya sebagai kota paling toleran. Intinya sama. Jadi kelimanya sama-sama sebagai kota paling toleran di 2017 ini," terangnya.
Sumber: TribunJateng.com