Fakta Miris Guru Honorer, Ada yang Digaji di Bawah Upah Minimum
Jumat, 04 Mei 2018
Rizqi Amaliyah memulai rutinitas harian sebagai guru honorer dengan menyapa para muridnya di kelas. Namun, pada Rabu, 2 Mei 2018, guru Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda 2, Mojokerto, Jawa Timur ini melakukan sesuatu yang berbeda. Ia mengikuti upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di lapangan sekolah tempatnya mengajar.
Upacara berlangsung hanya sekitar satu jam, dengan rangkaian pengibaran bendera merah putih, pembacaan teks Pancasila, pembacaan teks pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dan Proklamasi, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan mendengarkan rekaman suara pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
“Guru, orangtua, dan masyarakat harus menjadi sumber kekuatan untuk memperbaiki kinerja dunia pendidikan dan kebudayaan dalam menumbuhkembangkan karakter dan literasi anak-anak Indonesia,” kata Muhadjir dalam rekaman suara tersebut.
Pidato Muhadjir sama persis seperti yang disampaikannya di upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional, di Kantor Kemendikbud, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu ini.
Rizqi tidak ikut bertepuk tangan seperti kawan sepekerjaan dan murid-muridnya tatkala pidato yang menurutnya hanya basa-basi tahunan tersebut selesai diputar. Ia merenungkan nasibnya sebagai guru non-Aparatur Sipil Negara (ASN) atau guru honorer.
“Gajiku cuma Rp400 ribu sebulan. Buat beli bensin aja enggak cukup,” ungkap Rizqi kepada Tirto.
Gaji yang diperoleh Rizqi tidak sampai 20 persen dari Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Kota Mojokerto Jawa Timur sebesar Rp3.565.660, padahal ia sudah tiga tahun mengajar di sekolah tersebut sebagai guru kelas yang mengampu semua mata pelajaran dengan masa kerja dari pukul 09.30 WIB hingga 15.00 WIB dalam sehari.
“Aku pernah ngobrol sama tukang jaga toko kain. Kerja 8 jam tapi gajinya Rp1,8 juta, padahal dia lulusan SMA. Aku kuliah 4 tahun, mondok, tapi gajiku cuma segitu,” lanjut Rizqi membandingkan gajinya.
Kondisi tersebut diperparah dengan ketiadaan Tunjangan Hari Raya (THR) dan tunjangan kesehatan. Satu-satunya insentif tambahan yang pernah didapat Rizqi adalah uang sebesar Rp600 ribu sebagai apresiasi karena menjadi guru berprestasi.
“Aku enggak menyalahkan yayasan, karena sekolahku memang kecil dan di kampung, tapi apa iya pemerintah enggak mau bantu? Katanya mau guru berperan,” kata Rizqi lalu memohon maaf karena menangis.
Rizqi bukan satu-satunya guru honorer yang digaji di bawah UMK. Ani, yang mengajar di sebuah SMP Negeri rintisan di Kecamatan Poris, Kota Tangerang, Banten, mendapatkan gaji tak memadai sebagai guru honorer.
Ani awalnya menerima gaji Rp504 ribu di tiga bulan awal dirinya mengajar. Angka itu didapat dari hitungan Rp7 ribu per jam pelajaran dikalikan 18 jam pelajaran dalam sepekan yang harus digelutinya.
“Sekarang sih sudah jadi Rp1 juta-an karena aku sudah dikasih 36 jam pelajaran dalam seminggu,” kata Ani pada Tirto.
Gaji Ani memang lebih besar dari Rizqi yang mengajar di Mojokerto, tapi pundi rupiah yang didapat Ani tetap berada di bawah UMK Tangerang 2018 sebesar Rp3.295.075. Duit yang didapat Ani pun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan. Ia mengaku menutupi kehidupan bulanannya dengan berjualan pakaian dan tupperware secara online.
“Untung aku masih jualan,” kata Ani.
Kondisi agak mendingan dirasakan Ika yang menjadi guru honorer di SMAN 21 Surabaya. Dalam sebulan, Ika menerima gaji sesuai UMK Surabaya sebesar Rp3.648.000 per bulan dengan mengajar 24 jam pelajaran dalam sepekan.
“Aku beruntung kepala sekolahku baik,” kata Ika.
Ika menyatakan angka tersebut bisa bertambah Rp600 ribu bila ia memberi mata pelajaran tambahan untuk persiapan Ujian Nasional dan menjaga ujian. Akan tetapi, tidak semua guru mendapat kesempatan tersebut terutama guru yang tidak mengampu pelajaran yang di-UN-kan.
“Di sekolahku ada empat guru honorer, tapi enggak semua digaji UMK. Kalau kurang 24 jam mengajar digajinya per jam Rp50 ribu. Biasanya dapet Rp950 ribu sebulan,” kata Ika.
Ika bersyukur kondisinya lebih baik ketimbang guru honorer lain. Kondisi itu tak lantas membuatnya berdiam diri. Ia kerap menyuarakan aspirasinya melalui sosial media dan kepada otoritas terkait di Surabaya untuk memperhatikan nasib guru honorer.
“Kalau sekolah swasta besar sih SPP-nya mahal, makanya gurunya sejahtera. Kalau yang kecil dan sekolah negeri, harus muter cari uang. Nyisihin BOSNAS [bantuan operasional sekolah nasional],” kata Ika.
Kerisauan soal gaji guru honorer rupanya tak hanya dirasakan guru. Jalil seorang Kepala Sekolah MAN di Sidoarjo. Jawa Timur, ikut merasakan hal serupa. Kepada Tirto, Jalil mengaku kerap mengalami kesulitan mencari pendanaan untuk menggaji guru honorer dan tenaga kerja non ASN di sekolahnya karena tidak ada bantuan dari pemerintah kabupaten setempat.
“Kami menggantungkan 15% dari BOSNAS dan dana Komite Sekolah," kata Jalil.
Saat ini, kata Jalil, sekolahnya hanya bisa menggaji guru honorer dan pegawai di sekolahnya sebesar Rp2 juta per bulan dengan bantuan sumbangan Komite Sekolah yang terdiri dari wali murid. “Sebenarnya sekolah prihatin, tapi tidak mampu berbuat banyak. Kami sekolah negeri dan tidak ada SPP,” kata Jalil.
Rumitnya Sistem Pembayaran Gaji Guru Honorer
Permasalahan gaji guru honorer,menurut Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih diakibatkan rumitnya sistem pembayaran gaji guru honorer. Menurutnya, sesuai Pasal 16 Ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (PDF), gaji guru honorer dibebankan kepada pemerintah daerah melalui APBD.
Selain itu, kata Faqih, pada bagian keterangan Bab V Poin 9 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun 2017, dikatakan guru honorer hanya bersifat Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang bisa menggunakan maksimal 15 persen dari dana BOSNAS untuk sekolah negeri dan 20 persen untuk sekolah swasta.
Selanjutnya, dikatakan pula “Guru honor pada sekolah yang diselenggarakan oleh
pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib mendapatkan penugasan dari pemerintah daerah dan disetujui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Sekretaris Jenderal berdasarkan usulan dari dinas pendidikan provinsi dengan menyertakan daftar data guru hasil pengalihan kewenangan yang meliputi jumlah guru, nama guru dan mata pelajaran yang diampu, dan sekolah yang menjadi satuan administrasi pangkalnya.”
Faqih menilai peraturan tersebut bermasalah karena hanya guru sekolah pemerintah yang bisa mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah, padahal SK tersebut mutlak menjadi syarat guru honorer mendapatkan gaji.
Masalah lainnya, kata Faqih, pencairan dana BOSNAS sering telat dari pemerintah dan mengakibatkan guru honorer telat mendapat gaji. Sementara, menurutnya, tidak semua sekolah mempunyai cadangan dana untuk membayar mereka dan APBD tidak bisa diandalkan karena proses politik yang rumit dalam pengesahannya.
“Kami sudah mendesak Kemendikbud bayar guru honorer, tapi mereka bilang tidak bisa mencairkan dana secara sporadis ke orang per orang karena sistem,” kata Faqih kepada Tirto.
Dalam hal ini, Faqih juga menyayangkan perubahan sistem mekanisme pengangkatan guru honorer menjadi ASN dari pengangkatan berkala sesuai dengan PP 48 tahun 2005 menjadi seleksi sesuai PP 56 tahun 2008 yang menyebabkan guru honorer kategori K2 belum dapat diangkat sampai hari ini.
“Tahun 2017 baru 30 ribu guru diangkat jadi ASN,” kata Faqih.
Faqih berharap Kemendikbud segera mengubah Permendikbud Nomor 8 tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah dan menyetujui perubahan UU Guru dan Dosen menjadi dua undang-undang yang berbeda, yakni UU Guru dan UU Dosen agar guru honorer dapat mendapatkan perlindungan gaji dan fisik secara jelas.
Menanggapi hal ini, Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Dasar, Anas Adam yang mewakili Direktorat Jenderal Pembinaan Guru Kemendikbud, menyatakan pihaknya telah mengucurkan dana insentif bulanan sebesar Rp300 ribu untuk guru honorer sepanjang tahun 2017. Dalam pencairan itu, ia mengakui, tidak semua guru mendapatkan insentif tersebut.
Terkait tunjangan kesehatan guru honorer dan perlindungan fisik, Adam menyatakan pihaknya tidak bisa mengeluarkan dana untuk itu karena tanggung jawab pemerintah daerah.
“Guru honorer tidak menjadi tanggung jawab dari Kemendikbud. Guru honorer dibayar oleh kabupaten/kota masing-masing sesuai dengan kemampuan pemerintahnya," kata Adam kepada Tirto.
Perihal desakan perubahan Permendikbud Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Guru dan Dosen, Adam menyatakan pihaknya tengah melakukan kajian terhadap hal itu karena berimplikasi terhadap penyesuaian anggaran negara dan sistem penyaluran BOSNAS.
Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN atau tulisan menarik lainnya Muhamad Chafidh Abidin
(koranmalam.com - Pendidikan)
Sumber: tirto.id