Bayi dalam Mimpi dan Gerimis yang Rapat
Kamis, 12 Desember 2019
Cerpen M Maksum (Suara Merdeka, 08 Desember 2019)
“Mas, tadi malam aku bermimpi. Mimpi yang aneh, Mas.”
“Mas, tadi malam aku bermimpi. Mimpi yang aneh, Mas.”
Suamiku segera menghentikan sendok berisi nasi ke arah mulutnya. Seperti biasa, setiap pagi, aku selalu bercerita tentang mimpimimpi yang kualami semalam. Mas Edo menjadi pendengar terbaik. Ia seolah-olah penasaran atas mimpi-mimpi yang kuceritakan; mimpi yang indah sampai mimpi yang menyeramkan pernah aku ceritakan.
Bayi dalam Mimpi dan Gerimis yang Rapat ilustrasi Suara Merdeka |
Mas Edo tidak pernah menunjukkan rasa bosan untuk mendengarkan kisah mimpimimpiku. Meskipun kadang tatapan Mas Edo kurang meyakinkan.
“Memang mimpi apa semalam? Sesuatu yang menyeramkan, sehingga membuat wajahmu terlihat kusut dan penuh misteri?”
“Tidak, Mas. Mimpi semalam indah sekaligus membuatku cemas.”
“Ayo ceritakan kepada Mas. Biar rasa cemasmu hilang.”
Aku langsung menceritakan mimpiku semalam. Aneh, tidak sedikit pun aku lupakan mimpiku itu. Kuceritakan mimpiku sedetaildetailnya.
Ya, setiap pagi aku bercerita kepada Mas Edo. Semula Mas Edo merasa bahagia mendengar cerita mimpiku pagi ini. Namun beberapa menit kemudian dia berucap, “Aku tidak setuju kita mengadopsi anak!”
“Mas, ini demi kebahagiaan kita.”
Sudah sepuluh tahun aku hanya hidup bersama Mas Edo di rumah ini. Rumah sederhana yang masih bisa muat lima orang lagi. Lorong-lorong kamar masih berdebu, lantai dan tembok masih cerah dan tak bernoda coretan-coretan.
Ketika Mas Edo kerja, aku selalu kesepian, ditemani bungabunga yang aku tanam di dalam pot-pot. Setiap hari aku sibuk merawat bunga-bunga. Ketika aku bersilaturahmi ke tetangga, hatiku tidak tenang karena selalu mendengar canda tawa antara anak dan ibunya. Lebih baik aku habiskan hari-hariku di dalam rumah.
Mas Edo kerja sampai malam hari, bahkan harus lembur sampai larut malam. Itu sudah biasa. Biasa sendiri, biasa menghibur diri, biasa berbicara sendiri. Itu kulakukan sampai Mas Edo mengetuk pintu rumah.
“Aku mau mengadopsi anak, tapi tidak sesuai dengan kisah mimpimu semalam,” pinta Mas Edo.
Hatiku bahagia mendengar persetujuan Mas Edo. Mengadopsi anak adalah pilihan terbaik.
“Mas, mimpi semalam bukan mimpi dari setan. Insya Allah itu mimpi dari Allah. Pesan yang disampaikan lewat mimpi. Dalam mimpi itu ada seorang ibu berbaju putih. Ia menyuruh kita mengadopsi anak yang ditelantarkan orang tuanya.”
Mas Edo hampir tidak menghabiskan sarapan pagi ini. Aku terus membujuk agar Mas Edo mau mengadopsi anak seperti dalam mimpiku.
Dengan berat hati, dengan empasan napas kuat, Mas Edo menyetujui keinginanku. Hatiku langsung merasa bahagia. Wajahku mekar seperti bunga pada pagi hari terkena sinar mentari.
***
“Apakah kamu masih mau mencari anak yang ditelantarkan orang tuanya?” ujar Mas Edo dengan mimik sayah.
Aku dan Mas Edo hampir putus asa mencari informasi anak yang ditelantarkan. Aku sudah survei ke panti asuhan, rumah sakit, bahkan di tempat-tempat yang sering dijadikan pembuangan bayi.
Sebelum aku bermimpi tentang anak asuh, banyak kejadian menghebohkan di kotaku dan kota-kota lain. Pergaulan bebas yang tidak terkontrol, hubungan gelap, perselingkuhan, menghasilkan banyak bayi yang dibuang dalam keadaan hidup atau sudah tak bernyawa. Sadis.
Hatiku teriris pedih. Kini, sepuluh tahun sudah aku menantikan buah hati. Aku pernah melihat bayi menangis di antara tumpukan sampah. Itu terjadi dua tahun lalu.
“Lebih baik mengadopsi anak yang jelas keturunannya. Lebih aman.”
“Aku tidak mau, Mas. Tekadku sudah bulat. Aku ingin jadi pelindung, penyelimut, pembimbing bayi yang dibuang ibunya.”
“Bayi yang dibuang ibunya? Berarti keturunan dari orang tua yang berzina. Apa kamu mau mengasuh anak haram?”
Aku hanya diam.
“Apa kata tetangga, kata saudara-saudara, dan orang tua kita kalau kita mengasuh anak haram? Mereka pasti marah. Istighfar, Dik.”
“Cukup, Mas, cukup. Ini sudah tekadku, Mas. Kenapa Mas sekarang berubah pikiran lagi? Padahal kemarin-kemarin menyetujui keinginanku.”
Mas Edo diam seperti jam dinding di atas lemari yang tak berkutik tanpa baterai. Suara napaskulah yang mengisi sunyi di sela perdebatanku dengan Mas Edo. Tak ada percakapan, yang ada hanyalah suara-suara malam.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu depan. Suaranya tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan. Aku dan Mas Edo mempertajam pendengaran. Berharap suara ketukan itu terulang kembali.
“Coba kamu lihat ke depan, Mas. Kemungkinan ada tamu penting,” ujarku.
Mas Edo berjalan pelan-pelan, dan dari balik tirai jendela memastikan siapa yang telah mengetuk. Tampak mimik tanda tanya. Mengisyaratkan tidak ada siapasiapa di depan rumah. Aku menuju ke tempat Mas Edo, setelah mengambil sebilah parang yang terpajang di dinding ruang keluarga.
“Buka saja, Mas. Biar tidak penasaran.”
Suara-suara malam masih menemani. Bau tanah yang tadi selepas isya disiram hujan masih terasa di hidung. Bahkan masih tersisa tetesan-tetesan kecil air hujan yang jatuh dari genting.
“Astaga! Siapa menaruh kardus malam-malam di sini, Mas?”
Mas Edo segera memeriksa apa isi kardus itu. Kami sangat ketakutan, karena akhir-akhir ini banyak kiriman kardus sebagai teror.
“Mas harus segera lapor ke Pak RT, Dik!”
“Memang isinya apa, Mas?”
“Dua bayi.”
Jantungku berdetak makin kencang mendengar jawaban Mas Edo. Antara sedih dan bahagia menyelimuti malamku ini. Aku ingin menggendong dua bayi kedinginan itu. Namun Mas Edo melarangku. Takut itu jebakan dari pihak yang mencari permasalahan.
Ketika kaki Mas Edo melangkah ke halaman, hujan turun perlahan. Tidak sederas ketika turun selepas isya. Tidak ada payung, sehingga Mas Edo mengurungkan niat menemui Pak RT. Dia hanya bisa menghubungi lewat gawai.
Malam yang gerimis rapat dan dingin yang menggigilkan telah terhapus oleh rasa rindu. Rindu memeluk titipan Sang Pencipta. (28)
Salatiga, 19082019
M Maksum pernah menggunakan nama pena Muhammad Mak Al Fine. Sekarang tinggal di Salatiga. Bergiat di Rumah Baca Oase (RBO), FTBM Kota Salatiga, dan pengajar di MTs NU Salatiga. Buku cerpennya Kapan Ibu Mencium Keningku Lagi (2011) dan Aku Ingin Tidur Nyenyak di Kotaku (2013).