Yakin Gaji Per Jam Bakal Efektif Genjot Investasi dan Lapangan Kerja?
Kamis, 02 Januari 2020
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira meragukan klaim pemerintah yang menyebut skema upah kerja atau gaji per jam dapat menarik lebih banyak investasi masuk ke Indonesia.
Foto: Rachman Haryanto |
"Upah per jam akan naikkan investasi itu jenis investasi yang mana? Jangan sampai yang masuk adalah investasi yang hanya ingin menekan upah alias investasi ecek-ecek kurang berkualitas," ujar Bhima kepada detikcom lewat percakapan daring, Jakarta, Senin (30/12/2019).
Tak hanya itu, kemungkinan penciptaan lebih banyak lapangan pekerjaan yang digadang-gadang pun dianggap cukup rancu.
Menurut Bhima, produktifitas dapat meningkat apabila kesejahteraan pekerjanya pun terjamin.
"Tidak ada bukti yang kuat bahwa perubahan upah pekerja dari upah tetap kemudian menjadi per jam akan tingkatkan produktivitas, sebab sistem ini belum cocok diterapkan di Indonesia karena belum adanya jaminan pengangguran seperti di negara maju," imbuh Bhima.
Menurutnya, di negara maju yang menerapkan skema ini, pekerjanya tetap mendapatkan jaminan sosial yang setara dengan upah minimum bulanan.
"Bahkan banyak pekerja, misal, yang bekerja jam 8-12 siang di perusahaan A kemudian jam 12-4 sore di perusahaan lainnya. Jika perusahaan memangkas jam kerja ada asuransi pengangguran. Jadi standar upah minimumnya tetap berjalan normal," terangnya.
Sehingga apabila pemerintah tetap ngotot menerapkan skema ini tanpa menjamin jaminan sosial lainnya, malah rentan dalam menggerus daya beli masyarakat.
"Berisiko gerus daya beli karena terjadi penurunan upah secara kumulatif," katanya.
Untuk itu, Bhima mengimbau pemerintah agar menyiapkan skema lain yang menjamin kesejahteraan buruh agar tidak jatuh dari middle income atau masyarakat berpendapatan menengah ke bawah menjadi lower income atau masyarakat berpendapatan rendah.
"Ketika pekerja diupah berdasarkan jam, kemudian jam kerjanya tidak cukup membiayai pengeluarannya, maka negara wajib hadir memberikan kesempatan kerja lainnya sehingga pekerja yang rentan miskin tidak jatuh menjadi miskin," sambungnya.
Dihubungi secara terpisah, Ekonom sekaligus Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah pun tak yakin dengan optimisme pemerintah yang mengatakan skema ini dapat menarik lebih banyak investor masuk ke dalam negeri.
Menurutnya, investasi yang belakangan minim masuk ke Indonesia bukan cuma karena perkara upah minimum pekerja (UMP) di dalam negeri yang terlampau tinggi, melainkan lebih pelik daripada itu.
"Salah satu faktor yg menghambat masuknya investasi memang adalah masalah upah minimum, tapi itu cuma salah satu faktornya saja. Banyak faktor lain yg menghambat masuknya investasi mulai dari persoalan perizinan, pembebasan lahan, masalah tidak konsistennya kebijakan pemerintah, tidak adanya koordinasi pusat daerah dan lainnya," ujar Piter.
Menurutnya, pemerintah lebih baik fokus menyelesaikan akar permasalahan lain yang lebih rumit daripada sekedar UMP, mengingat tingginya frekuensi pro kontra yang ditimbulkan atas kebijakan tersebut.
"Menyelesaikan masalah upah bukan berarti investasi bisa langsung masuk lebih banyak. Permasalahan-permasalahan lain juga harus diselesaikan. Apalagi dengan upah per jam ini juga belum jelas ujungnya, ditambah serikat buruh sudah menolaknya juga," tuturnya.
Sebelumnya Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan, rencana penerapan skema pembayaran upah per jam dinilai membawa banyak dampak positif terhadap perekonomian dalam negeri bahkan bagi masyarakat.
Selain dapat mendorong peningkatan investasi, skema pengupahan ini pun dianggap ampuh membawa dampak terhadap penciptaan lapangan kerja.
"Skema upah per jam dalam Omnibus Law itu akan menggenjot investasi dan menumbuhkan lapangan kerja baru," ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan tertulis, Senin (30/12/2019).
SUMBER: detik.com