Salah Satu Alasan Mendikbud Nadiem Hapus UN: Sekolah Negeri Isinya Anak Kaya
Menurut Nadiem Makarim, sekolah negeri unggulan didominasi anak keluarga kaya karena pendaftaran masuk pakai nilai UN. Anak miskin jadi tersingkir ke sekolah berkualitas rendah.
MENDIKBUD NADIEM MAKARIM VIA AFP |
Pernyataan tersebut disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim pada hari ini (11/12) dalam siaran langsung bersama aktor Iqbaal Ramadhan di akun Instagram pribadinya. Pada obrolan yang masih bisa disaksikan di sini, Nadiem dan Iqbaal ngobrol panjang lebar, salah satunya perihal terobosan Kemendikbud era Nadiem menghapus Ujian Nasional (UN) yang, mengutip istilah Nadiem, malah jadi “instrumen diskriminasi”.
Nadiem mengawali perbincangan seputar polemik UN dengan menyebut hasil Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia yang memperlihatkan bagaimana masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi mayoritas bersekolah di sekolah negeri, sedangkan masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah malah menuntut ilmu di sekolah swasta. Nadiem kaget karena hasil ini mematahkan persepsi publik bahwa sekolah swasta identik dengan siswa kaya. Pemicu semua ini terjadi? UN.
“Itu terjadi karena UN. Semua anak-anak yang dapat UN tinggi bisa masuk sekolah negeri, yang enggak dapet harus masuk sekolah swasta. Anak-anak yang bisa dapet UN tinggi itu anak-anak yang orang tuanya mampu bimbelin anaknya untuk dapat nilai lebih tinggi. Orang tua yang enggak punya uang untuk bimbelin anaknya ya enggak masuk. Lucu kan?” ujar Nadiem.
“Suatu hal [UN] yang tadinya untuk kebaikan, malah jadi instrumen diskriminatif yang luar biasa. Itu kita hilangkan, enggak ada lagi. Sekarang [jadinya] Asesmen Nasional.”
Latar belakang tersebut menjadi dasar Nadiem mengganti UN menjadi Asesmen Nasional (AN). Terobosan ini diharap Nadiem bisa menyelesaikan masalah sebab AN enggak bisa dipelajari di bimbingan belajar. Dalam AN, hanya beberapa siswa yang akan diuji sebagai sampling untuk melakukan evaluasi. Itu pun bukan dilakukan pada murid, melainkan terhadap kualitas pengajaran yang dilakukan di sekolah masing-masing.
Logika UN toxic ini disepakati Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti. Desember silam, Retno menyoroti bagaimana siswa kaya memang mampu membayar bimbel, memiliki nilai UN tinggi, dan bebas memilih sekolah negeri mana pun.
Di sisi lain, Retno mengkritik kebijakan Nadiem yang malah mengurangi jatah warga sekitar pada sistem zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) dari 80 persen menjadi 50 persen. Retno menganggap, jatah keluarga kurang mampu di sekitar sekolah unggulan jadi berkurang. “Pemerintah wajib menambah jumlah sekolah negeri, bukan menurunkan persentase zonasi murni,” kata Retno kepada Tempo.
Belum fair memang kalau pengin langsung melihat dampak reformasi Nadiem terhadap pemberantasan kesenjangan pendidikan. Hasil itu kayaknya pun masih jauh mengingat Nadiem merenovasi sistem satu demi satu. Berkaca dari proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020, penghapusan UN membuat Jawa Tengah, misalnya, malah menerapkan penerimaan berdasarkan nilai rapor siswa mulai semester 1-5.
Artinya, yang dilihat tetap nilai. Kalau ngomongin nilai, meminjam logika Nadiem, para siswa kaya masih punya keunggulan privilese. Pada konteks ini, penghapusan UN jelas enggak menyelesaikan masalah utama.
Kebijakan penghapusan UN sendiri enggak sepenuhnya diterima dengan lapang dada oleh praktisi pendidikan. Kepala Sekolah SMAN 1 Jakarta Masayu Yuliana berharap pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan penghapusan UN sebab menurutnya berguna untuk memetakan mutu pendidikan.
“UN itu kan untuk pemetaan, seberapa mutu pendidikan, bukan hanya di Jakarta tapi juga di pelosok-pelosok, daerah terkecil,” ujar Masayu kepada BBC Indonesia.
Artikel Asli : vice.com